Di bawah terik matahari siang yang membakar seng atap bengkel kecilnya, Pak Rauf menyeka peluh dengan lengan bajunya yang sudah menghitam karena asap las dan debu logam. Ia adalah seorang tukang las di pinggiran kota, bekerja dari pagi hingga petang, menerima segala jenis pekerjaan besi: dari pagar rumah warga, rangka etalase warung, hingga perbaikan knalpot motor.
Tak ada yang mudah dari pekerjaan itu. Percikan api dari las selalu membakar lengan dan kadang melukai wajahnya. Tapi Pak Rauf tidak pernah mengeluh. Ia hanya punya satu tujuan: menyekolahkan anak semata wayangnya, Ilham, ke SMK impiannya.
Ilham ingin masuk ke SMK jurusan Teknik Mesin—jurusan yang biayanya tidak murah. Uang pendaftaran, seragam, alat praktik, belum lagi biaya transport dan kebutuhan harian. Setiap malam, Pak Rauf menghitung uang recehan di kaleng bekas biskuit, berharap penghasilannya hari itu cukup untuk menambah tabungan sekolah Ilham.
“Pak, kalau belum cukup, Ilham bisa kerja sambil sekolah nanti,” kata Ilham suatu malam.
Pak Rauf tersenyum samar sambil menggeleng. “Tugasmu cuma satu: belajar yang benar. Biar Bapak yang pikirkan sisanya.”
Beberapa hari kemudian, ia mendapat pesanan besar: membuat pagar besi untuk sebuah rumah baru. Meski bayaran tak seberapa jika dibandingkan keringat yang dikeluarkan, Pak Rauf menerimanya dengan penuh semangat. Malam-malamnya ia habiskan di bengkel dengan suara mesin las mengiringi doa-doanya dalam hati.
Tetangga-tetangga melihat kegigihannya dan mulai ikut membantu—ada yang menyumbang cat pagar, ada yang bantu antar makanan. Kisahnya menyentuh banyak hati di kampung itu.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu, Pak Rauf berhasil mengumpulkan cukup uang untuk biaya masuk SMK Ilham. Saat menerima seragam pertama, Ilham memeluk ayahnya erat.
“Terima kasih, Pak. Ilham janji akan jadi teknisi hebat, biar nanti bisa bangun bengkel yang besar untuk Bapak.”
Pak Rauf menatap mata anaknya dengan berkaca-kaca. Di balik wajah lelahnya, terbit senyum paling tulus yang pernah ia miliki. Bukan karena uang, bukan karena bangunan megah—tapi karena ia berhasil menyalakan harapan dalam hidup anaknya.