Rafi adalah seorang mahasiswa jurusan Sosiologi di sebuah universitas negeri. Ia bukan mahasiswa yang mencolok—tidak aktif di organisasi kampus yang populer, tidak dikenal karena prestasi akademik, dan tidak viral di media sosial. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda: ketekunannya dalam bidang keagamaan dan sosial.
Sejak semester awal, Rafi rutin menghadiri kajian-kajian agama di masjid kampus. Ia tak pernah absen menjadi muadzin dan sering membantu membersihkan masjid secara sukarela. Banyak yang menganggapnya "anak masjid", tapi Rafi tidak ambil pusing. Ia merasa tenang setiap kali berada di rumah Allah dan senang bisa berkontribusi meski hal kecil.
Di luar kegiatan kampus, Rafi aktif mengajar mengaji anak-anak di kampung sekitar kampus. Setiap sore, ia datang ke mushala kecil di tengah pemukiman padat untuk mengajar huruf hijaiyah, doa harian, dan akhlak mulia. Ia tidak dibayar, tapi senyum anak-anak dan rasa terima kasih dari orang tua sudah cukup membuat hatinya bahagia.
Suatu hari, kampus mengadakan kompetisi program sosial untuk pengabdian masyarakat. Banyak proposal datang dari mahasiswa berprestasi dan organisasi besar, tapi salah satu yang mengejutkan juri adalah proposal dari Rafi. Ia mengusulkan program "Madrasah Mini Keliling"—sebuah program sederhana namun menyentuh, yang mengajak mahasiswa menjadi guru ngaji keliling di daerah miskin yang tidak punya akses pendidikan agama.
Program itu terpilih menjadi salah satu yang didanai. Bersama beberapa temannya, Rafi menjalankan proyek itu dengan sepenuh hati. Dalam enam bulan, mereka berhasil membina lebih dari 100 anak di tiga kelurahan. Berita tentang program ini sampai ke media lokal, bahkan Rafi diundang ke acara kampus sebagai narasumber inspiratif.
Saat lulus, Rafi tetap tidak menjadi selebritas kampus, tapi ia meninggalkan jejak yang dalam: membuktikan bahwa ketekunan dalam hal sederhana bisa membawa perubahan besar. Bagi Rafi, menjadi mahasiswa bukan soal menjadi terkenal, tapi menjadi bermanfaat.