Langit yang Sama

Mereka bertemu di sebuah seminar nasional di Yogyakarta. Raka dari Bandung, dan Aira dari Makassar. Hanya tiga hari bersama dalam satu acara, tapi rasanya seperti sudah saling mengenal bertahun-tahun. Tertawa, berdiskusi, bahkan diam pun terasa hangat. Saat hari perpisahan tiba, tak ada janji terucap, hanya pandangan panjang yang seolah berkata: "Aku ingin bertemu lagi."

Hubungan mereka dimulai dari pesan-pesan kecil. Pagi hari dengan ucapan, “Selamat beraktivitas, semoga harimu menyenangkan,” dan malam hari dengan, “Selamat tidur, semoga mimpi indah.” Jarak ribuan kilometer terasa dekat dengan suara di telepon dan video call yang menjadi pengobat rindu. Namun, seperti semua LDR, tantangannya datang tak terduga.

Kadang Aira menangis karena Raka tak sempat membalas pesan saat ia butuh ditemani. Kadang Raka merasa kecewa karena Aira lebih banyak sibuk dengan kegiatan kampus. Tapi, selalu ada satu hal yang membuat mereka kembali: keyakinan bahwa rasa ini terlalu tulus untuk dilepaskan hanya karena jarak.

Setiap bulan, mereka menulis surat. Bukan karena tak ada internet, tapi karena menulis surat memberi ruang bagi kata-kata yang lebih jujur, lebih mendalam. Dalam surat ketujuhnya, Aira menulis:

"Aku percaya, kita sedang berjalan di jalan yang sama, meski tidak beriringan. Tapi selama kita masih melihat langit yang sama setiap malam, aku tahu kamu ada."

Dan Raka membalas :

"Aira, LDR itu seperti menanam pohon di tanah yang berbeda. Kita siram dari tempat masing-masing, berharap suatu hari pohon itu tumbuh besar dan akhirnya menyatukan akar kita."

Tahun keempat, Raka melamar Aira. Bukan di restoran mewah, bukan di pantai romantis. Tapi lewat surat tangan yang ia kirimkan ke rumah Aira, dengan satu baris terakhir yang membuat Aira meneteskan air mata:

"Kalau kamu masih melihat langit yang sama denganku, maukah kamu menjadi rumah yang akan selalu kutuju?"

Aira menjawab lewat video call malam itu, sambil tersenyum dengan air mata yang jatuh, "Ya, Raka. Aku mau. Selamanya."