Siang itu, di bawah rindangnya pohon mahoni kampus Universitas Rakyat Nusantara, dua mahasiswa hukum duduk bersandar di bangku taman. Mereka adalah Farhan Alamsyah, mahasiswa tingkat akhir yang dikenal kritis dan gemar membaca jurnal hukum, dan Haidar Mahmud, mahasiswa semester enam yang aktif di komunitas advokasi hukum masyarakat kampus.
Farhan membuka percakapan sambil menyeruput kopi sachet dari kantin belakang fakultas.
“Kamu dengar kabar soal Desa Raja Ambor, Kepala desanya, Pak Usman, lagi jadi sorotan. Proyek dua bak air bersih senilai Rp 200 juta katanya enggak beres pembangunannya.”
Haidar menoleh dengan ekspresi serius.
“Iya, aku baca rilisan komunitas warga desa. Satu bak ukuran 3x3 meter katanya sudah jadi, tapi yang 2x2 meter belum juga dibangun. Masalahnya, anggarannya udah jalan dari tahun lalu, dan nggak ada transparansi ke warga.”
Farhan menyipitkan mata, menatap sekeliling taman yang tenang.
“Kalau dari kacamata hukum pidana, ini bisa kena Pasal 3 UU Tipikor, UU Nomor 31 Tahun 1999. Apalagi kalau niatnya memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara.”
Haidar mengangguk.
“Tapi sebelum langsung vonis pidana, kita harus cek dulu aspek administrasinya. Kalau SPJ proyek ternyata fiktif, itu baru kuat indikasinya. Tapi kalau hanya keterlambatan realisasi dan belum ada pencairan penuh, bisa jadi maladministrasi.”
Farhan tersenyum tipis.
“Makanya peran BPD krusial. Di UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 55, BPD bertugas mengawasi kinerja kepala desa, termasuk soal dana desa. Kalau mereka diam saja, artinya pengawasan internal juga mandek.”
Haidar menyambung dengan semangat.
“Betul. Dan proyek seperti itu mestinya dibahas dalam Musdes. Kalau warga merasa nggak pernah dilibatkan, berarti prosedur penganggaran udah cacat dari awal. Ini bisa dilaporkan ke Inspektorat Kabupaten.”
Farhan tertawa kecil.
“Yang bikin menarik itu ultimatum warga. Mereka ancam mau boikot kantor desa. Ini bukan sekadar kasus hukum, tapi juga tekanan sosial yang kuat.”
“Iya, dan media bisa bantu mempercepat respons pemerintah dengan mengajukan permintaan klarifikasi berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik,” tambah Haidar. “ Karena publik punya hak tahu, apalagi kalau menyangkut anggaran negara.”
Farhan berdiri dan menatap langit mendung.
“Semoga Pak Usman sadar sebelum masyarakat benar-benar turun jalan. Ini bisa jadi preseden buruk kalau nggak diselesaikan cepat.”
“Dan jadi bahan diskusi menarik untuk kita. Eh, kelas Hukum Admin Publik mulai 10 menit lagi, bro. Gas?”
Keduanya tertawa ringan, lalu berjalan beriringan menuju gedung kuliah. Pohon mahoni tetap diam, menyaksikan dua calon sarjana hukum muda yang suatu hari mungkin akan jadi pengacara, aktivis, atau justru—kepala desa yang jujur.
Tags
Hukum