Setiap Jumat pagi, suasana Masjid An-Nur selalu berbeda. Bukan hanya karena khotbah yang menggetarkan hati atau karena jamaah yang membludak, tetapi karena kehadiran seorang lelaki tua bernama Pak Rahman.
Pak Rahman bukan imam, bukan pula ustaz. Ia hanya tukang sapu masjid. Setiap subuh, sebelum azan berkumandang, dia sudah hadir membersihkan halaman, menyusun sandal jamaah, dan merapikan sajadah. Meski gajinya kecil, dia tak pernah absen.
Satu hari, seorang pemuda bertanya padanya, “Pak, kenapa setiap Jumat Bapak tetap bekerja, padahal hari Jumat kan hari istimewa?”
Pak Rahman tersenyum, “Justru karena istimewa, saya ingin memberi lebih. Saya tak punya harta untuk bersedekah. Tapi tenaga dan waktu yang saya miliki, saya serahkan untuk Allah. Barangkali, ini yang jadi tiket saya menuju surga.”
Pemuda itu tertegun.
Hari itu juga, ia mulai membantu Pak Rahman. Ia belajar bahwa amal tak harus besar di mata manusia, tapi harus tulus di mata Allah.
Beberapa bulan kemudian, Pak Rahman meninggal dunia, tepat setelah sholat Jumat. Jamaah pun terkejut, karena hari itu, isi khotbah seperti menggambarkan hidupnya: “Orang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
Kini, di depan masjid, ada sebuah bangku dengan tulisan kecil :
“Di sini dulu duduk Pak Rahman. Ia tak meninggalkan harta, tapi mengajarkan makna.”
Semoga kisah ini bisa menginspirasi untuk menjadikan setiap Jumat sebagai hari berbagi, hari memperbaiki niat, dan hari mendekatkan diri pada kebaikan.
Tags
Religi