Ketika Istri Tak Lagi Butuh Suami

Namanya Aira, seorang istri yang dari luar tampak kuat, tegar, dan serba bisa. Banyak orang memujinya: “Hebat ya, suaminya beruntung sekali.” Tapi mereka tak tahu, di balik itu semua ada luka yang diam-diam ia pelihara sendiri.

Suaminya, Dimas, pria yang pada dasarnya tak pernah kasar, tak pernah berselingkuh, dan terlihat bertanggung jawab. Tapi satu hal yang ia abaikan: kehadiran yang sebenarnya. Bukan hanya soal fisik, tapi hadir dalam bentuk perhatian, bantuan kecil di rumah, atau sekadar pelukan di tengah lelah.

Dimas merasa semuanya baik-baik saja. Baginya, pekerjaan rumah adalah kewajiban istri. Mendidik anak, memasak, membersihkan rumah, belanja, mengurus tagihan—semua dijalankan Aira tanpa pernah dimintai tolong. Dan saat Aira mulai lelah, lalu meminta bantuan, Dimas hanya menjawab enteng, “Itu kan kewajibanmu.”

Hari demi hari, Aira berubah. Lembutnya mulai memudar. Senyumnya jarang muncul. Ia tidak lagi cerewet bertanya "sudah makan belum?" atau "hari ini capek ya?" seperti dulu. Bahkan sentuhannya pun tak sehangat dulu.

Dimas mulai merasa ada yang hilang, namun belum juga sadar bahwa semua itu perlahan memudar karena rasa sakit yang ditanggung sendirian.

Aira tak pernah marah, hanya diam. Tapi diam yang menyimpan ribuan kata—kata yang tak lagi mampu keluar karena terlalu sering dianggap angin lalu.

Suatu hari, Dimas pulang lebih awal. Rumah rapi seperti biasa, makan malam terhidang, anak-anak bermain dengan tertib. Tapi Aira duduk di teras, memandangi langit sendirian. Bukan sedih, tapi kosong. Dimas duduk di sampingnya, mencoba menggenggam tangan yang dulu hangat, tapi kali ini terasa dingin.

"Ra, kamu kenapa sekarang dingin banget?" tanya Dimas.

Aira menatapnya sekilas dan menjawab pelan, "Mungkin karena aku terlalu sering menahan semuanya sendiri, Mas. Sampai aku lupa caranya bergantung."

Saat itulah Dimas sadar, bukan karena Aira terlalu kuat, tapi karena ia terlalu lama dibiarkan sendiri.

**


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama