Lebaran di Tanah Rantau


Hawa pagi masih dingin saat suara takbir menggema di seluruh penjuru Jakarta. Rio duduk di tepi kasurnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari ibunya.

"Lebaran pertama kamu jauh dari rumah. Ibu rindu, Nak. Jaga diri baik-baik."

Ia menarik napas dalam, menahan sesak di dada. Seumur hidupnya, Rio selalu merayakan Idulfitri di kampung halamannya, bersama ayah, ibu, dan adik-adiknya. Tapi tahun ini berbeda. Kuliah di Jakarta mengubah segalanya. Ongkos pulang kampung terlalu mahal, dan dia tak ingin membebani orang tuanya.

"Yo, ayo ke masjid, udah pada nungguin," suara Doni, teman kosnya, membuyarkan lamunannya.

Rio bangkit, mengenakan baju koko putih yang dikirim ibunya bulan lalu. Di depan kos, beberapa teman perantauan sudah berkumpul. Mereka berasal dari berbagai daerah—Sumatra, Sulawesi, Kalimantan—tapi pagi itu, mereka seperti saudara.

Salat Id berlangsung khusyuk, meski ada perasaan hampa di hati Rio. Seusai salat, mereka saling bermaaf-maafan, lalu kembali ke kos dengan rencana sederhana: membuat perayaan kecil untuk mengobati rindu kampung halaman.

"Jadi, siapa yang bisa masak?" tanya Rina, satu-satunya perempuan di antara mereka yang kebetulan juga tidak pulang kampung.

"Aku bisa bikin opor ayam," kata Andre, mahasiswa asal Jawa Timur.

"Aku bawa rendang dari rumah," sahut Doni.

Rio tersenyum kecil. "Aku… bisa bantu makan."

Mereka tertawa. Seharian itu, kamar kos yang biasanya sepi berubah ramai. Ada yang memasak di dapur kecil, ada yang mengatur meja, ada yang sibuk menghubungi keluarga lewat video call.

Saat makanan siap, mereka duduk melingkar di lantai, menikmati hidangan seadanya dengan canda dan tawa. Sejenak, mereka lupa bahwa mereka jauh dari rumah.

Rio memandang wajah-wajah di sekitarnya. Mereka semua perantau, sama sepertinya. Mungkin mereka bukan keluarga sedarah, tapi kebersamaan ini menghangatkan hatinya.

Lebaran tahun ini memang tak seperti biasanya. Tak ada pelukan ibu, tak ada genggaman tangan ayah, tak ada gelak tawa adik-adiknya. Tapi di sini, di kamar kos kecil di Jakarta, Rio menemukan sesuatu yang tak kalah berharga—keluarga baru di tanah rantau.

Dan untuk pertama kalinya sejak pagi tadi, Rio tersenyum lega.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama