Panen di Tanah Tak Bertuan


Rafi menatap lahan kosong di belakang rumahnya. Tanah itu gersang, penuh ilalang, dan tak terurus bertahun-tahun. Tak ada yang peduli. Tetangganya hanya melewati tanpa menoleh.

Tapi Rafi melihatnya dengan cara berbeda.

"Dengan luas segini, kalau ditanami cabai, pasti untung besar," gumamnya.

Rafi bukan petani, tapi ia gemar membaca dan menonton video pertanian di internet. Ia tahu harga cabai sering naik drastis, terutama saat musim hujan. Maka, ia mulai bertindak.

Perjuangan di Tanah Kosong

Ia membersihkan lahan sendiri, mencangkul siang dan malam. Beberapa teman menertawakannya.

"Ngapain capek-capek? Mending kerja di kota!" kata Farid, sahabatnya.

Namun Rafi tak goyah. Dengan modal tabungan dua juta rupiah, ia membeli bibit cabai unggul, pupuk organik, dan selang irigasi sederhana.

Hari demi hari, ia merawat tanamannya. Pagi menyiram, siang menyiangi gulma, sore memberi pupuk. Hama sempat menyerang, membuatnya panik. Tapi dengan riset dan bantuan petani senior, ia mengatasinya tanpa pestisida kimia berlebihan.

Empat bulan berlalu, dan keajaiban terjadi.

Panen yang Mengubah Hidup

Pohon cabainya penuh buah merah menyala. Rafi memanen dengan hati berdebar. Ia membawa hasil panennya ke pasar, dan dalam waktu singkat, ludes terjual!

Dalam sebulan, ia meraup keuntungan hampir 30 juta rupiah.

Tetangga yang dulu mencibir kini mendekat. Beberapa meminta diajari, ada pula yang menawarkan kerja sama. Lahan kosong yang dulu diabaikan kini menjadi kebun produktif.

Dari Nol Menjadi Inspirasi

Kini, Rafi bukan hanya petani, tapi juga motivator muda di desanya. Ia membuktikan bahwa dengan tekad, ilmu, dan kerja keras, sesuatu yang dianggap tak berharga bisa menjadi sumber rezeki.

"Tanah tak bertuan ini, kini jadi sumber kehidupan," katanya sambil tersenyum.

Dan itu baru awal dari perjalanannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama