Indonesia Gelap, Cahaya yang Tak Padam

Senin, 17 Februari 2025

Langit Jakarta berwarna kelabu ketika ribuan mahasiswa memenuhi kawasan Patung Kuda. Di antara mereka, Adnan berdiri tegak, matanya menyapu lautan manusia yang mengibarkan spanduk bertuliskan "Indonesia Gelap!". Bagi Adnan, ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah panggilan sejarah.

Sejak kecil, Adnan bercita-cita menjadi seorang pendidik. Namun, pemotongan anggaran pendidikan yang terus terjadi membuatnya muak. Kampusnya mulai menaikkan uang kuliah, fasilitas semakin buruk, dan banyak dosen mengeluh tentang tunjangan yang tak kunjung cair. Ia tahu, jika keadaan ini dibiarkan, hanya segelintir orang yang mampu mengakses pendidikan tinggi.

Pukul 13.00 WIB, Satria, koordinator aksi dari BEM SI Kerakyatan, naik ke atas mobil komando. Suaranya menggema melalui pengeras suara.

"Pendidikan adalah hak fundamental setiap warga negara! Jika anggaran pendidikan dipotong, bagaimana mungkin kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa?"

Sorak-sorai mahasiswa membahana. Di samping Adnan, Aisyah, seorang mahasiswa hukum, mengepalkan tangan. Ia geram dengan revisi Undang-Undang TNI, Polri, dan Kejaksaan yang memberi kewenangan lebih kepada aparat.

"Mereka ingin mengontrol media sosial, memperkuat imunitas hukum, dan bahkan mengembalikan peran militer dalam urusan sipil," katanya dengan suara bergetar. "Ini langkah mundur bagi demokrasi!"

Adnan mengangguk. Ia ingat bagaimana sejarah mencatat kelamnya dominasi militer dalam pemerintahan sipil. Jika revisi ini lolos, Indonesia bukan hanya gelap—tetapi tenggelam dalam otoritarianisme.

Pukul 14.30 WIB, Bagas Wisnu dari UPNVJ Bergerak mulai membacakan 13 tuntutan mahasiswa. Mereka tidak hanya menuntut anggaran pendidikan yang layak, tetapi juga mencabut proyek strategis nasional bermasalah, menghentikan revisi UU Minerba, serta menyuarakan perlindungan bagi masyarakat adat.


Tiba-tiba, pukul 15.15 WIB, suara letupan gas air mata memecah udara. Aparat mulai mendorong mundur mahasiswa. Adnan meraih tangan Aisyah dan berlari menuju trotoar. Kepulan asap menyelimuti jalanan, membuat mata mereka perih. Namun, di tengah kekacauan itu, semangat mereka tak luntur.


"Kita tidak boleh mundur," kata Adnan dengan napas tersengal. "Perlawanan ini bukan tentang hari ini saja. Ini tentang masa depan!"

Di kejauhan, meski langit semakin gelap dan suara-suara mulai teredam oleh sirene, Adnan tahu satu hal pasti: perjuangan belum berakhir. Dan selama masih ada mereka yang berani menyalakan cahaya, Indonesia tidak akan benar-benar gelap.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama