Wibawa, Sang Penopang Senyap

Di tengah deru mesin dan debu besi yang beterbangan di sebuah pabrik tua di pinggiran kota, terdapat sosok yang tak pernah luput dari senyum dan sapaan hangat: Wibawa. Ia hanyalah seorang buruh mekanik biasa, bekerja dari pagi hingga petang, bergulat dengan baut, oli, dan peluh. Gajinya tak seberapa, bahkan sering kali harus berhemat agar cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun satu hal yang membuatnya istimewa: hatinya luas tak berbatas.

Wibawa tinggal di rumah petak sempit bersama istrinya dan dua anak kecil yang masih sekolah dasar. Meskipun hidupnya pas-pasan, ia tak pernah ragu mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan. Ketika temannya, Darto, harus membayar uang sekolah anaknya yang tertunggak, Wibawa diam-diam memberikan separuh dari gajinya.

“Wib, kamu sendiri susah. Kenapa kamu malah bantu aku?” tanya Darto dengan mata berkaca-kaca.

Wibawa tersenyum lembut, “Rezeki itu kayak air, To. Kalau disumbat, dia menggenang dan keruh. Tapi kalau dibagi, dia mengalir dan menyuburkan.”

Bukan hanya soal uang, Wibawa juga dikenal bijak dalam memberi nasihat. Banyak rekan kerjanya yang datang hanya untuk sekadar berbagi cerita atau meminta pendapat. Ketika Jaya, seorang buruh muda, merasa putus asa dan ingin keluar dari pabrik karena merasa tak dihargai, Wibawa menepuk bahunya pelan.

“Kamu bukan cuma baut di mesin besar ini, Jay. Kamu roda penggerak. Yang kecil pun punya peran. Tapi kalau kamu keluar karena marah, kamu kehilangan kesempatan untuk jadi lebih kuat,” ucapnya dengan suara tenang.

Kebaikan Wibawa tidak pernah dipamerkan. Ia seperti mata air kecil di hutan yang jauh dari sorotan, namun menghidupi sekelilingnya. Lama-kelamaan, para buruh mulai meneladani sikapnya. Mereka saling membantu, berbagi bekal, bahkan membentuk koperasi sederhana agar bisa saling menopang. Semua berawal dari keteladanan satu orang: Wibawa.

Suatu hari, pemilik pabrik datang melakukan kunjungan mendadak. Ia heran melihat suasana kerja yang begitu harmonis, tidak seperti biasanya. Saat ia bertanya pada kepala bagian, nama yang pertama kali disebut adalah Wibawa.

Pemilik pabrik memanggilnya. “Apa yang kamu lakukan sampai bisa membuat para pekerja sehati seperti ini?”

Wibawa hanya menjawab pelan, “Saya hanya mencoba jadi orang baik, Pak. Karena di tempat yang keras seperti ini, kadang satu kebaikan bisa jadi tumpuan harapan.”

Kisah Wibawa tersebar hingga keluar pabrik. Ia diundang ke berbagai komunitas pekerja untuk berbagi cerita. Bukan untuk menggurui, tapi untuk menunjukkan bahwa kebaikan bisa tumbuh bahkan dari tempat paling keras sekalipun.

Wibawa tak punya banyak harta, tapi ia kaya dalam hal yang tak bisa dibeli: empati, kepedulian, dan jiwa yang selalu siap menopang sesama.

Dan dari dirinya, banyak yang belajar bahwa menjadi pahlawan tak perlu pangkat atau seragam—cukup hati yang tulus dan tangan yang tak segan membantu.

---

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama