Dalam dunia yang serba cepat ini, sabar seringkali menjadi barang langka. Namun, di balik diam dan doa seorang hamba yang telah memilih jalan taubat, sabar menjadi pilar yang menopang langkah-langkah menuju ampunan. Inilah kisah tentang seorang ahli taubat—bukan orang suci, bukan pula pendakwah terkenal—melainkan seorang manusia biasa yang memutuskan untuk kembali pulang ke pangkuan Tuhannya, dengan bekal luka, penyesalan, dan harapan.
Namanya Putra (nama samaran), pria yang pernah tenggelam dalam dunia hitam selama bertahun-tahun. Dunia malam, narkoba, dan berbagai bentuk pelampiasan dosa pernah menjadi bagian dari hidupnya. Ia merasa bebas, padahal hatinya kosong. Hingga suatu malam, sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya. Di tengah rasa sakit dan kesendirian di rumah sakit, ia mendengar azan subuh—suara yang baginya terdengar seperti panggilan terakhir.
Sejak saat itu, Putra memutuskan bertobat. Tapi perjalanan taubat bukan seperti membalikkan telapak tangan. Lingkungan menolak, keluarga mencibir, dan masa lalu terus menghantuinya. Tak sedikit orang yang mengatakan, “Serigala takkan berubah menjadi domba.” Namun Putra memilih diam. Ia tak membalas. Ia hanya bersabar.
Sabar untuk terus datang ke masjid meski dipandang sinis.
Sabar untuk menolak ajakan lama dari teman-teman lama.
Sabar menahan air mata saat orangtuanya sendiri meragukan perubahan dirinya.
Dalam diamnya, ia menanam amal. Menghafal ayat demi ayat. Membersihkan masjid. Membantu tetangga. Bukan untuk dilihat manusia, tapi sebagai bentuk cinta dan penebusan kepada Allah.
Kini, lima tahun sudah ia berada di jalan ini. Tidak semua luka sembuh, tapi semua luka telah ia serahkan kepada Tuhan. Dalam sabar, ia menemukan kekuatan. Dalam taubat, ia menemukan kedamaian.
Cerita Putra adalah pengingat bagi kita semua: tidak ada dosa yang terlalu besar bagi rahmat Allah. Dan tidak ada perjalanan taubat yang mudah tanpa sabar. Bila Allah membuka pintu ampunan, maka siapa kita menutup pintu harapan?
---