Kesepakatannya jelas: keuntungan dibagi tiga. Tapi setelah proyek selesai, Rian terus beralasan, “Dana belum cair,” “Masih proses administrasi,” “Nanti aku pakai dulu, nanti aku ganti.” Dito dan Andre menahan curiga, karena Rian adalah teman lama. Namun waktu membuktikan, semua hanya kebohongan.
Rian ternyata telah menerima dana proyek sejak lama. Semua dipakai sendiri — membeli motor baru, membangun dapur rumahnya, bahkan menyekolahkan anaknya di tempat mahal. Ketika Dito dan Andre menemukan buktinya, mereka kecewa berat. Tapi belum sempat mereka menuntut, Tuhan lebih dulu bertindak.
Anak Rian mendadak jatuh sakit. Awalnya demam biasa, tapi tak kunjung sembuh. Istrinya pun mulai sakit-sakitan — lelah, pusing, sering pingsan. Setiap kali Rian menerima uang lebih banyak dari proyek lain, cobaan baru datang: biaya rumah sakit membengkak, usahanya rugi, motor barunya rusak tanpa sebab.
Ia pergi ke dokter, ke pengobatan alternatif, bahkan ke orang pintar. Semuanya berkata sama: “Ada yang tidak beres dalam rezekimu.”
Rian mulai merasa sesak. Uangnya habis untuk berobat, tapi sakit tak kunjung hilang. Anak yang sempat sembuh, dua minggu kemudian tumbang kembali. Rumah tangganya mulai goyah. Istri mulai bertanya, “Dari mana semua ini berasal?”
Akhirnya, suatu malam, Rian menangis di masjid. Ia sadar. Semua penderitaan adalah balasan atas rezeki yang ia makan tanpa hak. Ia telah menipu sahabatnya, menafkahi keluarganya dari uang haram.
Dengan hati gemetar, ia mendatangi Dito dan Andre. Ia sujud, meminta maaf, dan mengakui segalanya. Ia mengembalikan uang mereka, meski harus mencicil. Perlahan, setelah bertahun-tahun, anak dan istrinya mulai sehat kembali. Tapi bekas luka itu tak pernah hilang.
Kini Rian hidup sederhana. Ia tak mau lagi terlibat proyek besar. Ia hanya bekerja cukup, jujur, dan berusaha menebus masa lalu.
Di desa itu, orang-orang sering berkata,
“Rian adalah pelajaran. Bahwa uang haram mungkin memberi kemewahan sesaat, tapi mengundang azab yang tak hanya menyakiti diri sendiri — tapi juga orang yang kita cintai.”