Kisah fiktif inspiratif dari sebuah desa yang terlupakan
Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik bukit dan hutan tua, tinggallah seorang nenek renta bernama Ina Tua. Usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya ringkih, jalannya pelan, tapi matanya menyimpan cahaya yang tak pernah padam—cahaya harapan.
Ina Tua tinggal di sebuah rumah kayu reyot yang berdiri miring di tepian desa. Atapnya bocor, dindingnya bolong, dan lantainya nyaris tak lagi layak disebut lantai. Tak ada anak, tak ada cucu. Suaminya sudah lama meninggal. Ia adalah janda, dan juga yatim piatu sejak kecil. Dunia baginya adalah sepi yang tak habis-habis.
Namun, ada yang unik dari desa itu. Menurut para tetua, tanah yang mereka pijak adalah warisan dari raja besar di masa silam. Tanah yang dahulu diberikan sebagai bentuk cinta dan pengakuan kepada leluhur mereka. Tapi kini, cinta itu hanya tinggal cerita, dan pengakuan itu seakan terlupa.
Setiap pagi, Ina Tua menyalakan api kecil untuk memasak singkong atau sagu yang dia kumpulkan sendiri dari hutan. Sesekali, tetangganya yang juga hidup sederhana datang membawakan beras, atau sekadar menemani duduk di beranda yang sudah miring. Mereka semua tahu, kehidupan di desa itu berjalan atas dasar saling mengasihi.
Hingga suatu hari, datanglah seorang jurnalis muda dari kota. Namanya Rafi, seorang wartawan yang penasaran dengan cerita-cerita dari desa-desa terpencil. Ia datang tanpa banyak membawa alat, hanya sebuah kamera kecil dan buku catatan.
Ketika bertemu Ina Tua, Rafi terdiam cukup lama. Ia mendengarkan cerita hidup yang begitu panjang, kehilangan demi kehilangan, dan tentang desa yang masih berdiri di tengah waktu tanpa bantuan. “Apa yang membuat Ina tetap kuat hidup sendiri seperti ini?” tanya Rafi pelan.
Ina Tua tersenyum, menatap langit, dan menjawab,
“Karena saya tahu, tidak semua orang punya tempat untuk pulang. Tapi saya, masih punya tanah ini. Masih punya sejarah yang mengalir dalam darah saya. Dan saya percaya… suatu hari, akan ada yang peduli.”
Cerita itu menggerakkan hati Rafi. Ia menulis dan menyuarakan kisah desa itu dengan jujur. Ia tak menyebut nama desa, tak menyebut siapa-siapa, tapi ia bercerita tentang sebuah “rumah di ujung sejarah” yang belum pernah disentuh pembangunan.
Dan keajaiban kecil pun datang. Berita itu sampai ke telinga seorang pemimpin di provinsi, yang saat itu sedang menjalani masa jabatan sebagai wakil rakyat. Tanpa banyak kata, ia menyampaikan satu pesan penting:
“Suruh mereka buat permohonan resmi. Kita bantu mereka.”
Hari itu, harapan pun mulai tumbuh kembali di desa itu. Bukan karena bantuan sudah datang, tapi karena suara mereka—yang selama ini diam—akhirnya terdengar.
---
Pesan Moral :
Kadang, yang dibutuhkan bukan hanya bantuan, tapi kesediaan untuk melihat dan mendengar. Kisah ini mengajarkan bahwa di balik desa-desa sunyi dan kehidupan yang keras, masih ada jiwa-jiwa tangguh yang menolak menyerah—karena mereka percaya pada harapan, walau kecil sekalipun.
---
Tags
Kehidupan