Di sebuah desa kecil yang sunyi, tinggal seorang wanita bernama Nurinsani. Sejak kecil, ia punya cara unik menenangkan hatinya: menyanyi. Tapi bukan sekadar menyanyi—ia menciptakan syair-syair dari isi hatinya, dari kegundahan yang tak bisa ia ucapkan kepada siapa pun. Lagu-lagu itu adalah jendela jiwanya.
Setiap kali hidup terasa berat—ketika ayahnya sakit, ketika sahabatnya pergi, ketika cintanya kandas—ia tidak menangis di depan orang lain. Ia mengambil buku catatannya, menulis bait demi bait, lalu duduk di depan jendela kamarnya sambil menyanyikannya dengan lirih.
Suatu malam, ketika ia tengah menyanyikan syair tentang kehilangan dan harapan, ibunya diam-diam merekam suaranya. Esoknya, tanpa sepengetahuan Nurinsani, sang ibu mengunggah rekaman itu ke media sosial. Ia hanya menuliskan satu kalimat:
“Ini suara putriku, yang menyimpan badai dalam senyumnya.”
Tak disangka, video itu viral. Komentar berdatangan.
"Suaranya menyembuhkan."
"Syairnya seperti menuliskan isi hatiku sendiri."
"Siapa dia? Aku ingin dengar lebih banyak."
Awalnya Nurinsani malu. Ia tidak pernah berniat untuk dikenal. Tapi kemudian, ia membaca pesan dari seorang wanita yang berkata :
“Mbak, aku ingin bunuh diri malam itu, tapi lagu Mbak membuat aku merasa dimengerti. Aku menangis… lalu memilih untuk bertahan.”
Itulah titik baliknya.
Nurinsani mulai percaya bahwa luka bukan untuk disembunyikan. Ia mulai tampil di berbagai acara, bukan untuk ketenaran, tapi untuk menyampaikan satu pesan:
“Perasaanmu itu sah. Galaumu itu nyata. Tapi kamu tidak sendiri.”
Syair-syairnya kini bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga tentang keberanian. Tentang seorang perempuan yang pernah tersesat dalam sunyi, tapi memilih bernyanyi, bukan menyerah.
Di setiap panggung yang ia datangi, ia selalu mengakhiri dengan pesan:
“Jika kamu sedang hancur, jangan takut untuk jujur. Kalau tak bisa berkata, nyanyikan saja. Karena hati yang bernyanyi adalah hati yang sedang menyembuhkan diri.”
---
Penutup : Kisah Nurinsani mengajarkan kita bahwa ekspresi bukan kelemahan. Menyuarakan perasaan, apalagi lewat seni, bisa menjadi kekuatan yang menyelamatkan bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang lain.