Jatuhnya Ofik : Saat Jurnalisme Dikhianati oleh Keserakahan

Di tengah hiruk-pikuk sebuah kota kecil yang sedang berkembang, hidup seorang jurnalis bernama Ofik. Ia dikenal sebagai wartawan media lokal yang aktif menulis berita-berita kriminal, sosial, dan birokrasi. Bagi banyak warga, Ofik adalah penghubung suara rakyat yang selama ini tak terdengar. Namun di balik liputan-liputannya, Ofik menyimpan ambisi dan cara yang tak terpuji.

Sebagai jurnalis, Ofik punya keistimewaan: ia dekat dengan warga yang percaya padanya. Mereka sering mengirimkan informasi penting—dugaan pungli, proyek siluman, atau praktik kotor para oknum pejabat. Tapi informasi yang seharusnya diberdayakan untuk membela publik malah dijadikan alat negosiasi dan ancaman.

Bermodal kartu pers dan keberaniannya menekan, Ofik kerap mendatangi pihak-pihak yang disebut dalam laporan. Bukannya melakukan klarifikasi untuk berita, ia menegosiasi dengan nada intimidasi. “Kalau ini naik berita, nama Bapak bisa hancur. Tapi kalau Bapak ada itikad baik, saya bisa tahan dulu,” begitu gaya bicaranya.

Yang lebih menyedihkan, hasil dari "uang damai" itu tidak pernah dibagi ke rekan-rekan tim redaksi. Teman-teman yang ikut kerja lapangan, bantu riset, dan menulis ulang rilis, tidak pernah merasakan apa pun. Saat diajak ngopi atau diajak patungan liputan, Ofik selalu bilang, “Saya juga kosong, bro. Belum gajian ini.” Padahal diam-diam, ia hidup nyaman, belanja diam-diam, dan bepergian dengan fasilitas yang tak sepadan dengan penghasilannya.

Kebohongan Ofik akhirnya memakan dirinya sendiri. Seorang narasumber, yang gerah karena diperas berkali-kali, memutuskan untuk menjebaknya. Rekaman percakapan, bukti transfer, dan tangkapan layar dikumpulkan. Kasus ini dilaporkan ke aparat penegak hukum dan dalam waktu singkat, Ofik ditangkap atas dugaan pemerasan berkedok jurnalistik.

Proses hukumnya menyita perhatian publik. Di kota kecil itu, nama Ofik pernah harum, tapi kini berubah menjadi perbincangan memalukan. Ia divonis dua tahun penjara. Reputasi hancur. Media tempatnya bekerja memecatnya dan mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak mentoleransi penyalahgunaan profesi.

Setelah bebas, Ofik mencoba bangkit. Namun semuanya tak semudah dulu. Nama baik sudah rusak. Rekan kerja lama menjauh, masyarakat tak lagi percaya. Ia hidup dengan pekerjaan kasar dan berpindah-pindah tempat tinggal. Ia mulai sadar, bahwa ketika kebenaran dijual demi keuntungan pribadi, maka hidup akan menjual balik dengan harga yang jauh lebih mahal.

Kini, Ofik hanya bisa menulis untuk dirinya sendiri, dalam catatan harian yang tak pernah dipublikasikan:
"Saya pernah menjadi jurnalis. Tapi saya lupa bahwa jurnalisme bukan soal nama di koran, tapi soal keberanian berkata benar—meski tak dibayar."

Pesan Moral : 
Profesi jurnalis adalah penjaga nurani masyarakat. Sekali kepercayaan dihancurkan oleh kebohongan, maka seluruh pondasi keadilan bisa runtuh. Jangan pernah jadikan pena sebagai senjata untuk menindas, tapi sebagai cahaya untuk menerangi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama