Bibit yang Tak Tumbuh di Sawah

Di suatu sore yang tenang di kampung kecil bernama Dewa Geleng, dua pemuda duduk bersila di bawah pohon ketapang tua. Namanya Aco dan Lano—dua sahabat yang dikenal kritis namun tetap santun. Di antara segelas kopi dan sebungkus kacang goreng, mereka membahas sesuatu yang membuat dahi mereka sama-sama berkerut.

“Ko dengar, Co, dana desa tahun ini dipakai buat beli bibit padi,” ujar Lano sambil menyesap kopinya.

Aco tertawa kecil, “Bibit padi? Tapi di kampung ini tidak ada sawah, bro. Mau tanam di mana? Di halaman rumah kepala desa?”

Keduanya tertawa, meski dalam hati mereka tak sepenuhnya lucu.

Lano kemudian bicara serius, “Ko tahu, Co. Aku rasa ini bukan cuma soal lucu-lucuan. Ini soal masa depan. Kalau dana desa saja dipakai buat hal yang tidak relevan, kampung ini tidak akan maju-maju.”

Aco mengangguk pelan. Ia dikenal sebagai pemuda yang sering membantu di masjid, aktif juga di kelompok pemuda tani, meski tanah yang digarap hanya ladang kering. Ia memandang jauh ke barat, ke arah bukit di mana mentari mulai turun.

“Mungkin inilah saatnya kita belajar dan paham betul soal dana desa,” katanya. “Supaya ke depan, kita bisa bantu arahkan. Bukan cuma kritik, tapi juga solusi.”

Lano menimpali, “Betul. Mungkin besok kita bisa mulai tanya ke aparat desa. Minta penjelasan. Tapi dengan cara yang baik, supaya mereka juga merasa kita datang untuk kebaikan bersama.”

Dari percakapan sederhana itu, lahirlah tekad. Mereka berdua mulai mencari tahu bagaimana pengelolaan dana desa seharusnya dijalankan. Mereka belajar dari internet, bertanya pada pendamping desa, bahkan ikut pelatihan transparansi anggaran yang diadakan LSM lokal.

Beberapa bulan kemudian, Aco dan Lano membentuk komunitas “Dewa Cerdas”, wadah bagi anak muda kampung untuk ikut terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan desa.

Bibit padi yang tak tumbuh itu memang sebuah ironi. Tapi justru dari keganjilan itulah, tumbuh bibit kesadaran—bahwa perubahan di kampung bukan soal siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling mau belajar dan berjuang bersama.

Dan di kampung Dewa Geleng, dua pemuda sudah memulainya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama