Ayam Mati Karena Judi, Hidup Mati Karena Lupa Diri

Di sebuah kampung bernama Rukurawa, hiduplah seorang pria bernama Nando. Ia dikenal sebagai jago sabung ayam. Setiap akhir pekan, suara gaduh dari arena kecil di belakang rumahnya mengundang banyak orang. Bukan untuk bersilaturahmi, tapi untuk berjudi. Nando bangga karena ayam-ayamnya hampir selalu menang, dan dari situlah ia menghidupi gaya hidupnya: mewah, urakan, dan penuh adu jotos.

Nando tak hanya berjudi. Ia sering memprovokasi tawuran antar kelompok sabung ayam, demi mempertahankan ego dan gengsi di lingkaran kriminalnya. Bagi Nando, harga diri diukur dari berapa banyak ayamnya menang dan berapa juta uang yang ia bawa pulang.

Suatu hari, ayam andalannya menang besar. Selama dua hari dua malam, Nando berpesta pora. Uang hasil judi dibelanjakan untuk pakaian mahal, sepatu bermerek, bahkan ponsel keluaran terbaru. Ia pergi dari satu tempat hiburan ke tempat lainnya, memamerkan hasil ‘kerja keras’-nya tanpa sedikit pun mengingat kandang ayam yang selama ini jadi sumber keberuntungannya.

Dua hari kemudian, saat ia kembali ke rumah, aroma busuk menyergap. Ia membuka kandang dan mendapati kenyataan pahit: semua ayamnya mati. Tak satu pun yang tersisa. Bukan karena racun, bukan karena sabotase pesaing—tapi karena kelaparan. Ia lupa memberi makan. Ia lupa memberi air. Ia lupa bahwa hidup bukan hanya soal uang dan kesenangan.

Saat itulah Nando terduduk lemas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kalah. Bukan oleh lawan judi, tapi oleh dirinya sendiri. Ayam-ayam yang selama ini membawanya pada kemenangan mati karena kelalaian akibat keserakahan.

Sejak kejadian itu, Nando berubah. Ia menjual semua sisa perlengkapan sabung ayamnya. Uang terakhir yang ia miliki ia gunakan untuk membuka warung kecil dan membeli kitab suci. Ia belajar agama, meminta maaf kepada warga yang dulu pernah ia rugikan, dan berkeliling dari kampung ke kampung untuk memberi pesan penting:

 “Harta yang datang dari jalan haram hanya akan membuat kita lupa daratan. Bahkan binatang saja bisa jadi korban kesombongan kita.”

Kini Nando dikenal bukan lagi sebagai petarung sabung ayam, tapi sebagai penceramah keliling yang mengingatkan para pemuda:
Judi bukan jalan rezeki, tapi jalan sesat yang menuntun pada kehilangan, kehancuran, dan penyesalan.

Ia menutup setiap ceramahnya dengan kalimat,

 “Kalau ayam saja bisa mati karena judi, apalagi hati kita.”

Catatan Moral : Cerita ini mengajak kita untuk menyadari betapa bahayanya perbuatan tercela seperti judi. Selain membawa kerugian materi dan moral, ia juga bisa membuat manusia kehilangan arah dan nurani. Jangan tunggu sampai kehilangan segalanya baru sadar. Hentikan sebelum terlambat.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama