Di sebuah desa kecil bernama Kampung Lupa Maju, warganya sering mengeluh karena desa mereka tak pernah berkembang. Jalanan tetap berlubang, jembatan masih dari bambu yang nyaris roboh, dan lampu jalan lebih banyak mati daripada hidup. Tapi yang bikin heran, Pak Kades Sugondo malah makin makmur.
Suatu hari, warga berkumpul di warung kopi Bang Joni untuk membahas keanehan ini.
“Aneh, ya? Dana desa cair tiap tahun, tapi kita tetap hidup seperti zaman batu,” gerutu Pak Udin sambil menyeruput kopinya.
“Apa mungkin dananya diubah jadi tuyul?” sahut Bu Siti, membuat semua orang tertawa.
Tiba-tiba, Mamat, pemuda kampung yang baru belajar tentang transparansi keuangan di internet, datang dengan gagasan. “Gimana kalau kita tanyakan langsung ke Pak Kades? Biar dia jelaskan ke mana uang itu pergi.”
Semua sepakat. Mereka langsung berbondong-bondong ke rumah Pak Kades Sugondo. Sampai di sana, mereka mendapati rumahnya makin megah, dengan pagar besi tinggi dan mobil baru mengkilap di garasi.
Pak Kades keluar dengan senyum lebar. “Ada apa, warga yang budiman?”
Pak Udin maju sebagai juru bicara. “Pak Kades, kami mau tanya, kenapa desa kita gak pernah maju padahal dana desa selalu turun?”
Pak Kades menggaruk kepala, “Ah, itu karena kita menganut filosofi kesederhanaan, Pak Udin. Desa ini harus tetap alami, biar gak kehilangan budaya!”
“Tapi kenapa rumah Bapak makin mewah?” tanya Bu Siti curiga.
Pak Kades tertawa. “Itu karena saya ingin jadi contoh keberhasilan! Kalau pemimpinnya makmur, rakyatnya pasti ikut makmur.”
Tiba-tiba, Mamat mengeluarkan catatan dari ponselnya. “Pak Kades, saya lihat di laporan anggaran, tahun lalu ada alokasi 200 juta buat bangun jembatan. Tapi jembatan kita masih jembatan bambu!”
Pak Kades tersenyum kikuk. “Ehh… itu karena saya memilih bahan ramah lingkungan. Bambu itu filosofi kehidupan, lentur tapi kuat.”
Warga mulai riuh. “Terus, 100 juta buat penerangan jalan ke mana?”
“Oh, itu sudah dipakai. Kalau lampunya mati, itu bukan salah saya. Mungkin lampunya lelah bekerja.”
“Kalo dana UMKM? Katanya buat usaha warga?” tanya Bang Joni.
Pak Kades langsung tersedak. “Ehmm… Itu… saya investasikan dulu. Tenang, sebentar lagi panen!”
Warga mulai kesal. Lalu, Mamat berseru, “Sudah cukup! Kita laporkan ke pihak berwenang!”
Mendengar itu, Pak Kades panik. Tiba-tiba dia berlari ke dalam rumah dan keluar dengan koper. “Maaf, warga! Saya baru ingat ada seminar mendadak di Bali. Selamat tinggal!”
Dia langsung masuk ke mobil dan tancap gas. Tapi karena jalan desa masih berlubang, bannya masuk ke dalam kubangan besar, membuat mobilnya nyungsep.
Warga serentak tertawa. “Lihat, Pak Kades, kalau dana desa dipakai benar, jalan ini pasti gak jebak mobil Bapak!”
Akhirnya, warga sepakat melaporkan Pak Kades. Beberapa bulan kemudian, Kampung Lupa Maju mulai berubah—jalan diperbaiki, lampu jalan menyala, dan jembatan diganti beton. Sementara itu, Pak Kades Sugondo kini menghitung uang dengan tangan di belakang jeruji besi.
Sejak saat itu, warga pun memberi slogan baru untuk desa mereka: “Dari Lupa Maju Jadi Ingat Maju”.