Namun, di balik senyum kecilnya, pikirannya mulai melayang.
"Bisa nggak ya, medali ini digadai?" gumamnya dalam hati.
Ia bukan tanpa alasan berpikir begitu. Sudah beberapa hari terakhir, isi dompetnya menipis, sementara kebutuhan hidup terus mendesak. Ia butuh uang cepat untuk membantu biaya sekolah adiknya.
Arman berdiri dan memasukkan medali ke dalam sakunya. Langkah kakinya menuju Pegadaian di dekat pasar, semakin mantap. Di depan pintu kaca, ia berhenti sejenak, menatap tulisan besar di atasnya: "Mengatasi Masalah Tanpa Masalah."
Ia menarik napas dalam.
"Apa mungkin mereka menerima medali lomba lari?" pikirnya.
Namun, sebelum kakinya melangkah masuk, tiba-tiba suara seseorang menyapanya.
"Arman! Ngapain di sini?"
Ia menoleh. Ternyata itu Pak Ridwan, pelatihnya.
Dengan sedikit gugup, Arman menjelaskan niatnya. Bukannya marah, Pak Ridwan justru tersenyum dan menepuk bahunya.
"Kamu tahu, Man, medali itu bukan cuma soal emas atau perak. Itu lambang perjuanganmu. Kalau kamu butuh uang, ada cara lain. Saya bisa bantu carikan sponsor buat kamu, atau kita ajukan beasiswa untuk adikmu."
Arman terdiam. Kata-kata itu menampar kesadarannya. Ia menatap kembali medalinya—kilauannya masih sama, tapi kini ia melihatnya dengan cara berbeda.
Ia tersenyum dan memasukkan kembali medali itu ke dalam sakunya.
"Terima kasih, Pak. Saya sadar sekarang. Medali ini nggak boleh tergadai."
Dan pagi itu, Arman melangkah pergi, bukan ke Pegadaian, tapi ke arah masa depan yang lebih cerah.