Angin laut berembus lembut di pagi hari, menyibak embun di pelabuhan tua yang mulai dipadati perahu dan kapal dagang. Udara asin khas pantai bercampur bau kopi panas yang mengepul dari warung sederhana milik Pak Jamil, seorang pedagang tua yang setiap hari Jumat selalu datang lebih awal.
Tapi pagi ini berbeda. Bukan hanya karena matahari bersinar lebih hangat atau suara burung camar terdengar lebih nyaring, melainkan karena hari ini adalah 1 Muharram 1447 Hijriah. Tahun baru Islam. Dan kebetulan, bertepatan dengan hari Jumat yang penuh berkah.
Pak Jamil tidak menyulut rokok kretek seperti biasanya. Ia lebih banyak diam, memandangi langit yang biru sembari melantunkan istighfar dalam hati. Wajahnya yang keriput tampak teduh. Di balik dagangan kopi, pisang goreng, dan nasi kuning bungkus daun, tersimpan rindu pada masa lalu.
“Pak, kopi satu ya,” suara seorang nelayan muda membuyarkan lamunannya.
“Langsung duduk, Yahya,” sahut Pak Jamil ramah. “Hari ini kopi saya gratis.”
Yahya tersenyum bingung. “Gratis, Pak? Ada apa?”
Pak Jamil meletakkan cangkir ke atas meja kayu reyot. “Hari ini tahun baru Islam, Nak. Dan ini hari Jumat. Hari Allah membuka banyak pintu ampunan dan rezeki. Kita buka tahun dengan memberi, bukan menunggu diberi.”
Beberapa pedagang lain mendekat, sebagian heran, sebagian kagum. Karena mereka tahu, warung kecil Pak Jamil bukanlah tempat emas mengalir. Bahkan kadang ia tutup lebih awal karena kehabisan bahan atau tak laku jualan.
“Dulu,” lanjut Pak Jamil pelan, “saya berdagang hanya memikirkan untung. Tapi setelah istri saya meninggal dua Muharram lalu, saya sadar, yang paling berharga dalam hidup bukan berapa yang kita simpan, tapi seberapa banyak kita sempat memberi.”
Suasana pelabuhan hening sejenak. Beberapa orang menunduk. Mata-mata para pelaut dan pedagang tampak berkaca-kaca. Bahkan Yahya menggenggam cangkir kopinya lebih erat.
Pak Jamil membuka Al-Qur’an kecil dari saku bajunya. Ia membaca satu ayat yang menjadi pedomannya hari itu:
“Barangsiapa yang membawa amal baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipatnya...” (QS. Al-An’am: 160)
“Kalau hanya dapat lima ribu, tapi memberi dua ribu, berarti kita sudah tanam dua puluh ribu di akhirat,” kata Pak Jamil sambil tersenyum.
Hari itu, warungnya penuh. Bukan karena orang datang ingin gratisan, tapi karena banyak yang ingin belajar, menyimak, dan ikut menyalurkan makanan dan minuman untuk musafir dan buruh pelabuhan yang tak mampu membeli sarapan.
Sebelum azan Jumat berkumandang, Pak Jamil menutup dagangannya. Ia melangkah ke masjid kecil di ujung dermaga, membawa satu piring nasi kuning yang tersisa. Diberikannya pada seorang kakek gelandangan yang duduk tertunduk di sudut pagar.
“Ini rezeki awal tahun, Pak,” ucapnya lembut.
Kakek itu menatapnya dengan mata berkaca. “Semoga Allah lipatgandakan untukmu, Nak…”
Pak Jamil hanya tersenyum. Ia tahu, dagangannya hari itu mungkin rugi secara kas, tapi untung besar secara langit. Dan baginya, itulah makna sejati dari Muharram: Hijrah menuju hati yang lebih lapang, tangan yang lebih dermawan, dan hidup yang lebih berkah.