Dari Botol ke Kitab : Kisah Tobat Si Pemabuk Jadi Ulama

Di sebuah kota kecil di pelosok negeri, nama Rangga dulu identik dengan mabuk, onar, dan kriminal jalanan. Setiap malam, ia dan teman-temannya menenggak miras di pinggir jalan, memekakkan telinga warga dengan tawa tak sadar arah, kadang diakhiri perkelahian. Tidak ada yang menyangka, pemuda kurus berkaus kumal itu suatu hari akan menjadi sosok yang berdiri di mimbar masjid, menyeru manusia pada taubat dan kebaikan.

Malam itu, usia Rangga baru menyentuh 24 tahun ketika petugas kepolisian meringkusnya bersama dua rekannya. Mereka kedapatan mabuk berat dan membuat kerusakan di warung warga. Rangga sempat melawan, menantang petugas layaknya preman jalanan yang tak punya rem. Tapi takdir berkata lain. Tangannya diborgol. Matanya nanar. Ia terjerembab di balik jeruji besi, divonis tiga tahun penjara.

Di dalam penjara, Rangga awalnya marah, memberontak, merasa dunia tak adil. Namun malam demi malam, keheningan jeruji besi perlahan mengoyak kerasnya hatinya. Ia mulai memperhatikan seorang tahanan tua yang setiap malam larut dalam doa, membaca Al-Qur’an dengan tenang. Tak pernah sekalipun lelaki itu mengeluh, padahal vonisnya lebih berat dari Rangga.

“Untuk apa kau tenang?” tanya Rangga suatu hari.

Tahanan tua itu hanya tersenyum. “Karena aku sedang menebus kesalahan, bukan melanjutkannya.”

Kalimat itu menikam. Rangga tak bisa tidur malam itu. Teringat wajah ibunya yang dulu menangis tiap malam, memohon anaknya pulang dan sadar. Teringat adiknya yang berhenti sekolah karena malu punya kakak pemabuk. Teringat doa-doa neneknya sebelum wafat: “Ya Allah, tolong sadarkan cucuku.”

Sejak hari itu, Rangga mulai berubah. Ia ikut pengajian di dalam sel, belajar mengaji dari nol. Ia menangis pertama kali membaca ayat tentang azab bagi pemabuk dan pezina. Ia gemetar saat membaca tentang kasih sayang Allah bagi hamba yang benar-benar bertaubat. Dan di sanalah titik balik hidupnya dimulai.

Tiga tahun berlalu. Rangga keluar dari penjara bukan sebagai residivis, tapi sebagai penyeru taubat. Ia memilih tidak kembali ke teman lamanya sebagai pemabuk, tapi datang sebagai da’i jalanan. Ia mulai dari warung kopi tempat mereka biasa berkumpul.

Awalnya ditertawakan. “Ah, Rangga sekarang ustaz ya?” sindir salah satu teman lamanya.

Tapi Rangga tak mundur. Ia sabar. Datang lagi esoknya. Ceramah singkat di pinggir jalan, bercerita tentang siksa dan ampunan, tentang kehancuran karena miras, dan keindahan hidup yang bersih. Ia bukan hanya berceramah, ia membawa bukti hidup: dirinya sendiri.

Satu per satu temannya mulai diam, lalu tertunduk. Sebagian ikut shalat berjamaah. Beberapa lainnya berhenti minum. Dalam waktu dua tahun, enam pemabuk menjadi santri, bahkan dua di antaranya kini ikut berdakwah bersamanya.

Kini Rangga dikenal sebagai Ustaz Rangga Al-Mubtadi — nama julukan dari warga karena ia tak pernah malu mengakui bahwa ia dulu pemabuk yang bertobat. Ia sering berkata dalam setiap ceramahnya:

> “Miras merusak akal, menodai hati, menghancurkan keluarga. Jangan tunggu tertangkap, jangan tunggu hilang harga diri. Taubat itu bukan untuk orang suci, tapi untuk orang yang ingin disucikan oleh Allah.”



Cerita Rangga menjadi inspirasi. Bukan hanya di kampungnya, tapi juga di hati banyak orang yang mulai goyah dari dunia gelap miras. Ia membuktikan bahwa tak ada manusia yang terlalu rusak untuk diselamatkan, asalkan ia mau membuka hati, mengakui salah, dan kembali ke jalan yang benar.

Pesan Moral :
Setiap gelas miras yang kita teguk adalah selangkah menuju kehancuran. Tapi setiap tetes air wudhu adalah awal kebangkitan menuju kemuliaan. Jangan tunggu hidupmu direnggut, hartamu habis, atau keluargamu hancur. Saat terbaik untuk berhenti adalah sekarang. Saat terbaik untuk kembali adalah hari ini.

Karena di balik jeruji tobat, bisa lahir seorang ulama. Dan dari hati yang sadar, bisa tumbuh seruan kebaikan yang menyelamatkan banyak jiwa.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama