Di sebuah desa kecil, seorang anak laki-laki bernama Arfan tumbuh dengan impian yang besar. Rumahnya sederhana, berdinding kayu, dengan suara angin dan gemericik sungai yang selalu menemani tidurnya. Sejak kecil, Arfan bercita-cita ingin merantau, menaklukkan dunia, dan mengubah nasib keluarganya.
Suatu sore, menjelang kepergiannya ke kota untuk menuntut ilmu, ibunya menatapnya dalam-dalam sambil menggenggam tangannya erat.
"Jalan boleh jauh, Nak. Tapi jangan lupa pulang," ucapnya dengan suara lembut namun penuh makna.
Arfan mengangguk. Saat itu, ia yakin akan selalu mengingat kata-kata itu.
Tahun demi tahun berlalu. Arfan membuktikan kegigihannya. Ia bekerja siang dan malam, meniti karier dari bawah hingga akhirnya menjadi pengusaha sukses. Namanya dikenal di berbagai kota besar. Ia hidup dalam gemerlap kesuksesan, dikelilingi oleh kemewahan yang dulu hanya bisa ia bayangkan.
Namun, dalam kesibukan itu, ada satu hal yang perlahan memudar—kenangan tentang rumah. Telepon dari ibunya semakin jarang ia jawab, surat dari desa hanya ia baca sekilas tanpa balasan. Ia begitu tenggelam dalam ambisi, seolah lupa pada tempat di mana semuanya bermula.
Suatu hari, dalam sebuah wawancara, seorang wartawan bertanya kepadanya, "Dalam perjalanan panjang Anda, apa yang paling berharga?"
Pertanyaan itu menampar kesadarannya. Dadanya mendadak sesak. Bukan gedung-gedung tinggi yang ia bangun, bukan angka di rekeningnya—melainkan wajah ibunya, suara angin di desa, dan pesan sederhana yang dulu selalu ia pegang erat.
Tanpa menunggu lama, Arfan memesan tiket dan pulang. Saat tiba di desanya, ia melihat ibunya yang sudah menua, berdiri di depan rumah dengan mata berkaca-kaca.
"Kau pulang, Nak…" suara ibunya bergetar.
Arfan berlari memeluknya erat. "Maaf, Bu. Aku terlalu sibuk mengejar dunia, sampai lupa di mana hatiku seharusnya berlabuh."
Sejak hari itu, Arfan tak hanya pulang secara fisik, tapi juga hatinya. Ia membangun sekolah untuk anak-anak di desanya, agar mereka bisa bermimpi besar sepertinya, namun tetap tahu bahwa sejauh apa pun mereka melangkah, rumah adalah tempat yang selalu menerima mereka kembali.