Taman di Pasar : Kisah Haji Umar, Si Pedagang yang Tenang

Di tengah hiruk-pikuk pasar lama di sebuah kota pesisir, hidup seorang pedagang tua bernama Haji Umar. Ia bukan pedagang besar, hanya menjual rempah-rempah di sebuah warung kayu kecil yang bersahaja. Setiap pagi, saat pedagang lain saling berteriak memanggil pembeli, Haji Umar duduk diam. Tangannya meracik kapulaga dan cengkih, mulutnya komat-kamit membaca doa dan dzikir.

Seorang pemuda pedagang yang baru datang ke pasar, bernama Salim, memperhatikan Haji Umar selama beberapa hari. Herannya, meski tak teriak-teriak atau menurunkan harga seperti pedagang lain, warung Haji Umar tetap ramai. Pembeli datang silih berganti, dan mereka sering tersenyum pulang sambil membawa barang dagangan dan nasihat bijak.

Suatu hari, Salim tak tahan dan bertanya,

 “Haji, maafkan saya… bagaimana mungkin Haji bisa tenang seperti ini, sementara kami berteriak, bersaing, dan masih belum cukup juga hasilnya?”

Haji Umar tersenyum. Ia menepuk bahu Salim dan berkata pelan :

 "Nak, jangan kejar dunia seperti pencuri mengejar cahaya. Jadilah seperti taman yang teduh: burung, angin, dan hujan datang kepadanya dengan sendirinya. Dunia akan mendatangimu jika engkau sibuk menata hatimu. Karena harta yang halal adalah bayangan dari jiwa yang bersih, bukan hasil dari kerakusan hati."

Salim terdiam. Kata-kata itu menggema di benaknya. Sejak hari itu, ia mulai mengubah caranya berdagang. Ia mulai membuka pagi dengan doa, menyapa pembeli dengan ikhlas, dan tak lagi gelisah jika dagangan belum laku. Perlahan-lahan, usahanya pun membaik. Ia belajar bahwa rezeki bukan hanya tentang untung, tapi tentang keberkahan.

Dan dari pasar itu, tersebarlah kisah tentang seorang pedagang muda yang menemukan ketenangan di antara hiruk-pikuk dunia. Bukan karena banyaknya harta, tapi karena hatinya telah menjadi taman yang teduh—seperti Haji Umar dulu.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama